Delapan Tertidur
Tema: Tak Terhingga Jasamu
Word Count: 1.341
Diposting pertama kali di KASKUS. Diikutkan dalam Event: Community Online Competition di Sub-Forum Education Kaskus, "Yuk buat Cerpen Spesial Hari Guru!".
Delapan Tertidur
“Bantuan
anda sudah habis. Untuk satu milyar rupiah, apa jawaban anda?”
Tanpa
diberitahu pun aku sudah tahu. Orang yang berada di hadapanku saat ini
benar-benar menjengkelkan. Kamu tahu, apa yang lebih menjengkelkan? Gestur
wajahnya. Wajahnya seolah memberitahuku untuk menyerah saja dengan membawa uang
500 juta, dan secara bersamaan mengharapkan diriku memberikan jawaban yang
salah sehingga hanya membawa 32 juta. Sulit untuk membayangkan wajahnya, bukan?
Jangan khawatir, kamu tak harus membayangkannya. Jika kamu bisa, cukup bantu
aku saja menjawab pertanyaan kelima belas ini:
“Dalam
serial buku anak-anak, dari negara manakah Beruang Paddington berasal?”
A. India
B.
Peru
C. Kanada
D. Islandia
Demi
Tuhan. Dari sekian misteri, teka-teki atau pertanyaan di dunia ini yang sulit
terjawab, mengapa harus soal ini yang menjadi halangan terakhirku untuk
mendapatkan satu milyar rupiah. Untuk membuatnya terlihat lebih konyol, aku telah
menghabiskan semua bantuan untuk satu pertanyaan ini.
Pertama, 50-50. Bantuan ini menyisakan pilihan
jawaban ‘B. Peru’ dan ‘D. Islandia’.
Kedua, ask the audience. Hasilnya, 50% penonton
menjawab ‘B. Peru’ dan sisanya ‘D. Islandia’. Benar-benar tidak berguna.
Terakhir, phone a friend. Aku memutuskan untuk
menghubungi temanku yang merupakan seorang penulis. Lima belas detik pertama,
sambungan telepon buruk. Lima belas detik sisanya, aku hanya mendengar dia
berkata, “hmm, di Islandia sepertinya banyak beruang, deh,” dan akhirnya
terdengar bunyi, “TUUUT”. Phone a friend akhirnya
terbuang begitu saja.
Jujur saja,
‘kursi panas’ yang sedang kududuki ini benar-benar terasa panas sekarang. Batas
waktu untuk menjawab terus berkurang. Keringat mulai membasahi punggungku. Kucoba
untuk menenangkan diri. Kuusap dan kubenamkan wajah ini ke arah kedua telapak
tanganku sambil tertunduk. Hingga kemudian semuanya terasa sunyi di studio ini.
“Hei,
kamu! Aku sedang bicara denganmu, bangunlah!”
Hanya
suara itulah yang terdengar.
Mendengar
suara yang kurasa bermaksud memanggilku, kubuka kedua telapak tangan dari
wajahku. Apa yang kulihat sesaat setelah mataku terbuka benar-benar membuatku
merasa sudah gila. Kupikir wajar saja jika merasa gila gara-gara menghadapi
pertanyaan senilai satu milyar. Mataku tertuju ke sosok yang sedang berdiri di
depanku, sosok lain selain si pembawa acara.
“Terkejut,
hah? Kamu benar, kamu sudah gila,” sosok itu berbicara seolah dapat membaca apa
yang sedang kupikirkan.
“Apa kamu
sadar apa yang ditertawakan para penonton dan orang yang duduk di hadapanmu
tadi? Tidakkah kamu melihat bagaimana mereka memandangmu?” Sosok itu
melanjutkan ocehannya.
Tentu aku
sadar. Setelah berhasil menjawab pertanyaan ke-14, aku keceplosan mengucapkan
kalimat yang membuat seisi studio tertawa.
Apakah
kamu itu Tuhan?
Pertanyaan
itu aku tujukan kepada pembawa acara kuis di hadapanku. Kalimatnya keluar
begitu saja dari mulutku. Bukan tanpa alasan hal itu bisa terjadi.
Kamu
pikir, kenapa aku bisa lolos sampai ke pertanyaan 1 milyar tanpa menggunakan
satu bantuan pun sebelum akhirnya sia-sia gara-gara pertanyaan konyol itu?
Itu adalah
daftar pertanyaannya.
Pertanyaan-pertanyaan
yang ditanyakan pembawa acara itu benar-benar membuatku keheranan. Bagaimana
bisa semua pertanyaannya membuatku teringat akan mereka di saat-saat seperti
ini. Membuatku dapat menjawab keempatbelas pertanyaan sebelumnya tanpa bantuan.
Apakah ini cara Tuhan menegurku? Pembawa acara ini seolah mengetahu semua masa
laluku.
Itulah
mengapa aku bertanya-tanya, “apakah kamu itu Tuhan?”
“Tidak,
temanku. Aku hanya orang yang mengatur jalannya acara ini, bukan pengatur alam
semesta,” jawab si pembawa acara beberapa saat yang lalu, diikuti gelak tawa
membahana para penonton di studio.
“Mungkin saya
yang seharusnya menanyakan pertanyaan itu kepada anda,” lanjutnya diikuti lagi
tawa penonton mengisi studio, “anda telah berhasil melewati 14 pertanyaan tanpa
menggunakan satu pun bantuan!”
Setelah membuatku
teringat kejadian tadi, sosok lainnya yang sedang berada di hadapanku mulai mengoceh
kembali, “jadi, kamu telah sadar betapa sombongnya dirimu itu, kan?”
“Kesombonganmu
semakin jelas saat kamu malah membuang ‘phone
a friend’ begitu saja. Dibanding temanmu yang ceroboh itu, kamu sadar betul
siapa yang seharusnya kau hubungi tadi, bukan?” Lanjut sosok itu.
“Bagaimana
kau mengetahuinya?” Tanyaku keheranan.
“Kamu
tidak perlu keheranan begitu. Jangan menanyakan hal yang kamu sudah ketahui
jawabannya, wahai diriku yang sombong!”
Sosok itu
memang mirip denganku. Aku benar-benar sudah gila.
“Kamu
pikir, apa yang membuatmu bisa sampai ke titik ini? Murni karena pengetahuanmu?
Atau gelar pendidikanmu? Pfft. TETOT!”
Dia
mengucapkannya dengan memasang wajah yang meledekku. Menjengkelkan sekali
diriku ini.
“Kamu
tidak peduli dengan uangnya, bukan? Yang kamu pedulikan hanya ambisi memecahkan
rekor sebagai orang pertama yang berhasil membawa satu milyar itu di negara
ini. Memang, tidak ada yang salah dengan ambisi itu. Hanya saja, cara kamu mencapainya
memperlihatkan betapa sombongnya dirimu itu!” Ucapnya terlihat kesal.
Benarkah?
“Untuk
membuktikannya, biarkan aku mengulang beberapa jawaban yang kamu berikan tadi.”
Dia pun
memulai pembuktiannya.
“Jawaban
soal kedua, Jean Henry Dunant. Tiba-tiba kamu teringat gurumu semasa SD itu, bukan?
Guru yang mengajarimu pengetahuan umum. Guru yang biasa kamu ejek dengan
sebutan “bolo-bolo” bersama teman-temanmu itu.”
Aku tak
bisa menyanggahnya. Dia benar.
“Jawaban
soal kelima, titik aman pertamamu, Adis Ababa. Saat memikirkan jawabannya, kamu
teringat guru geografi semasa SMP yang kamu sebut “pelit nilai” itu, kan? Kamu
menyebutnya “pelit” dan menaksirnya di waktu yang bersamaan, ckckck.
Lagi, dia
benar.
“Titik
aman kedua, 32 juta, kamu menjawab ‘Ribosom’. Aku yakin kamu masih menyimpan
dendam pada guru biologimu sewaktu duduk di kelas XI. Gara-gara merasa
jawabanmu disalahkan, nilai UAS biologi-mu saat itu, hanya terpaut satu angka
saja untuk bisa menjadi juara umum kelas XI. Kamu bahkan sempat mendebatnya
mengenai jawaban yang kau anggap benar.
Hingga
saat ini pun aku masih yakin jawabanku lah yang benar.
“Asal tahu
saja, mereka itu, selain meninggalkan kenangan dalam hidupmu, mereka juga
meninggalkan ilmu yang kamu gunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
Meskipun kamu membenci, menghina, dan melupakan mereka, ilmu dan kenangan yang
mereka tinggalkan untukmu masih tetap berbekas dalam dirimu, bukan?”
Benarkah?
“Dan untuk
pertanyaan terakhir ini, seperti yang sudah kusebutkan sebelumnya, kamu
benar-benar sombong sekali untuk tidak menggunakan ‘phone a friend’ untuk menghubunginya. Kamu merasa lebih tahu
darinya. Merasa lebih pintar darinya hanya karena gelar dan pendidikan yang
telah kamu jalani telah melebihi miliknya.”
Aku benci
dia. Aku tidak bisa menghentikannya terus berbicara.
“Padahal tanpa
dirinya, kamu tidak akan mencapai titik ini. Tidak-tidak, jangankan menjawab
pertanyaan senilai satu milyar, pertanyaan senilai 100 ribu pun tak akan bisa
terjawab. Bahkan, pertanyaan yang tertera di layar itu pun tak akan pernah bisa
kamu baca tanpa bantuan darinya waktu itu dan kamu tidak mungkin akan berada di
‘kursi panas’ yang sedang kau duduki saat ini.”
Aku hanya
terdiam.
“Kapan
terakhir kali kau menghubunginya? Jangan-jangan, namanya saja sudah tidak
ingat.”
Tidak
benar, aku ingat siapa dia. Aku ingat nama yang dimaksudnya itu.
“Dia orang
yang telah membukakan apa yang biasa disebut ‘jendela dunia’ untuk dirimu. Guru
pertamamu di sekolah. Selain ayah dan ibumu, ia adalah orang yang pertama kali
mengajarimu membaca. Mencegahmu dari ‘kebutaan’. Ironisnya, kamu masih ingat
buku yang pertama kali ia gunakan untuk mengajarimu membaca, kan? Itulah
petunjuk dari soal terakhir ini.”
Aku masih
mengingatnya. Buku itu memiliki gambar beruang dengan topi merah di atas
kepalanya, berjaket biru, memakai sepatu boots berwarna merah di sampul
depannya. Ya, si Peddie Bear alias
Paddington. Aku tidak tahu darimana asalnya beruang itu. Tapi, aku masih ingat
bahwa aku pernah melihatnya.
“Apakah
kamu masih ingat warna bulu beruang di sampul itu? Kalau dipikir, beruang di
Islandia itu kebanyakan berwarna putih, kan?”
Apakah dia
baru saja memberiku petunjuk?
“Itu saja.
Giliranku sudah selesai. Sekarang, semuanya terserah padamu. Pesan terakhirku,
satu milyar itu tidak sebanding dengan apa yang telah mereka berikan untukmu. Kalaupun
ada angka yang mewakili jasa mereka, itu adalah angka delapan. Delapan
tertidur. Jadi selanjutnya, aku percayakan kepadamu apa yang harus dilakukan
setelah ini.” Ucap sosok itu sebelum tiba-tiba suara pembawa acara terdengar
kembali olehku.
“Apakah
anda sudah memiliki jawabannya?”
Kuambil
napas panjang sebelum mengucapkan jawaban yang kupilih.
B. Peru.
“B. Peru
adalah jawaban anda untuk satu milyar rupiah. Is that your final answer?”
Sambil
mengusap wajahku, aku hanya mengangguk.
“Kita
kunci jawabannya,” dia merespon anggukan dariku.
Untuk
beberapa detik, seisi studio terdiam. Hanya musik latar yang terdengar.
“Indonesia,
selamat!! Anda baru saja memiliki miliarder pertama dari kuis ini!” Ucapnya
diikuti riuh tepuk tangan yang meriah dari penonton yang kulihat mulai berdiri
satu per satu.
Sesaat kemudian,
dia berdiri menyalamiku dan dengan gaya berbisik dia melanjutkan, “mungkinkah,
satu milyar ini akan anda donasikan?” Tawa penonton pun sontak kembali
membahana di studio.
“Apakah
kamu itu Tuhan?” Itulah ‘jawaban terakhirku’ yang sebenarnya.
***
A/N:
Terinspirasi dari Slumdog Millionaire sama konflik batin Kyon di Shoushitsu. Kemudian nyari daftar pertanyaan WWTbM, ketemu pertanyaan yang pas seperti yang ada di bawah ini :D
Delapan Tertidur
Reviewed by Kakikukico
on
Minggu, Januari 29, 2017
Rating: